Sabtu, 01 Mei 2021

KONEKSI ANTAR MATERI-PEMIMPIN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA


                                       

“Maksud pendidikan itu adalah menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.” (Ki Hajar Dewantara, 1936). Ungkapan pemikiran Ki Hajar Dewantara tersebut selaras dengan isi dari UU Sistem Pendidikan Nasional RI No.20/2003 yang menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan , akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Proses menuntun tumbuh kembang peserta didik akan berhasil jika diiringi dengan penanaman nilai-nilai  hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang bermakna positif melalui pengalaman. Dengan demikian peserta didik mampu memelihara emosi dan pemikiran positif di dalam dirinya serta menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Sebagai seorang Guru, tentunya memiliki nilai-nilai diri yang telah tertanam, visi pribadi serta peran tersendiri dalam menjalankan profesinya. Untuk itu maka penting bagi Guru untuk mencapai visi sebagai Guru Penggerak melalui inisiatif  perubahan yang berbasis kekuatan/aset/potensi yang dimilikinya untuk mengembangkan segenap kekuatan/aset/potensi peserta didiknya. Nilai-nilai yang dianut oleh Guru Penggerak seperti mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid akan membantu guru untuk menjalankan profesinya dan melakukan transformasi pembelajaran yang lebih berpihak pada murid. Proses tersebut dapat dimulai dengan mengembangkan visi pribadi, kemudian melakukan pemetaan kekuatan/aset/potensi yang dimiliki murid sebagai dasar untuk merencanakan dan mengelola strategi perubahan.

Untuk mengembangkan segenap kekuatan/aset/potensi yang dimiliki peserta didik, seorang Guru harus memiliki cara pandang yang positif terhadap keunikan dari setiap peserta didiknya. Melalui cara pandang yang positif, seorang guru dapat membangun budaya dan disiplin positif dalam proses pembelajaran yang bermuara pada penumbuhan karakter yang positif dalam diri peserta didiknya. Tindakan guru yang tepat yaitu dengan bertanya dan membuat kesepakatan kelas agar mendorong motivasi intrinsik. Dengan demikian tujuan akhir dari disiplin yaitu agar peserta didik memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, menghargai dirinya dan orang lain dapat tercapai.

Mendesain pengalaman belajar yang bermakna, menantang dan relevan dalam bentuk Pembelajaran yang berdiferensiasi yang meliputi diferensiasi konten, proses , produk serta diintegrasikan dengan pembelajaran sosial emosional untuk mengasah afeksi : rasa, reflekstif, mindfull dan emosi positif merupakan bagian dari proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Penumbuhan 5 ketrampilan sosial-emosional yaitu kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial , ketrampilan sosial, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab akan memampukan peserta didik untuk mengembangkan kekuatan/aset/potensi yang ada dalam dirinya dengan maksimal. Disamping itu proses Coaching model TIRTA yang dilakukan oleh guru akan sangat membantu memaksimalkan kekuatan/potensi yang dimiliki oleh peserta didik maupun teman sejawatnya dalam sebuah komunitas pendidikan. Hal ini akan sangat mendukung terwujudnya Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA). Dengan demikian peserta didik dan warga sekolah akan mencapai “wellbeing” atau kesejahteraan dan kebahagiaan.

Pengambilan keputusan yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran di kelas yang berpihak dan memerdekakan murid akan menjadi pembelajaran yang positif bagi murid-murid untuk mulai berani mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan pilihannya sendiri tanpa paksaan dan campur tangan orang lain. Seringkali dalam proses dalam pengambilan keputusan, guru dan peserta didik dihadapkan pada situasi dilema etika dan bujukan moral. Ketika berhadapan dengan situasi dilema etika , maka ada 4 paradigma berpikir yang digunakan dalam pengambilan keputusan yaitu individu lawan masyarakat, kebenaran lawan kesetiaan, rasa keadilan lawan rasa kasihan serta jangka pendek lawan jangka panjang. Agar dapat mengambil keputusan yang tepat, digunakan 3 prinsip pengambilan keputusan yaitu berpikir berbasis  hasil akhir, berpikir berbasis peraturan dan berpikir berbasis rasa peduli melalui 9 langkah pengambilan keputusan yaitu :

1) Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan

2) Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini

3) Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dalam situasi tersebut

4) Pengujian Benar atau Salah (uji legalitas, uji regulasi, uji intuisi, uji halaman depan koran, uji panutan/idola)

5) Pengujian paradigma Benar atau Salah

6) Prinsip pengambilan keputusan

7) Investigasi Opsi Trilema

8) Buat Keputusan

9) Tinjau kembali keputudan dan refleksikan

Diharapkan bahwa murid  akan lebih nyaman untuk berkomunikasi dan menentukan pilihan keputusan bersama dengan guru , dan para guru akan lebih memperhatikan kepentingan muridnya.

Jika diibaratkan sebagai sebuah ekosistem, sekolah adalah sebuah bentuk interaksi antara faktor biotik (unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Dalam ekosistem sekolah, faktor-faktor biotik akan saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Faktor-faktor biotik yang ada dalam ekosistem sekolah di antaranya adalah Peserta Didik, Kepala Sekolah, Guru, Staf/Tenaga Kependidikan, Pengawas Sekolah, Orang tua dan masyarakat sekitar sekolah . Selain faktor-faktor biotik yang sudah disebutkan, faktor-faktor abiotik yang juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran di antaranya adalah keuangan, sarana dan prasarana. Pengelolaan sumber daya yang baik sangat penting dilakukan agar dapat mengembangkan sekolah dengan baik pula . Seringkali dalam pengelolaan sumber daya di sekolah, kita terjebak dalam Pendekatan berbasis kekurangan/masalah (Deficit-Based Thinking)  yang memusatkan perhatian kita pada apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak bekerja.  Segala sesuatunya akan dilihat dengan cara pandang negatif.  Kita harus bisa mengatasi semua kekurangan atau yang menghalangi tercapainya kesuksesan yang ingin diraih.  Semakin lama, secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang terbiasa untuk merasa tidak nyaman dan curiga yang ternyata dapat menjadikan kita buta terhadap potensi dan peluang yang ada di sekitar.

Pendekatan  berbasis aset (Asset-Based Thinking) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer, seorang ahli psikologi yang menekuni kekuatan berpikir positif untuk pengembangan diri.  Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif. Perbedaan antara pendekatan berbasis kekurangan dengan pendekatan berbasis aset dapat dilihat dari tabel di bawah ini :

Berbasis pada kekurangan/masalah/hambatan

Berbasis pada aset

Fokus pada masalah dan isu

Fokus pada aset dan kekuatan

Berkutat pada masalah utama

Membayangkan masa depan

Mengidentifikasi kebutuhan dan kekurangan – selalu bertanya apa yang kurang?

Berpikir tentang kesuksesan yang telah diraih dan kekuatan untuk mencapai kesuksesan tersebut.

Fokus mencari bantuan dari sponsor atau institusi lain

Mengorganisasikan kompetensi dan sumber daya (aset dan kekuatan)

Merancang program atau proyek untuk menyelesaikan masalah

Merancang sebuah rencana berdasarkan visi dan kekuatan

Mengatur kelompok yang dapat melaksanakan proyek

Melaksanakan rencana aksi yang sudah diprogramkan

(Green & Haines, 2010)

 

Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) merupakan suatu kerangka kerja yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann, di mana keduanya adalah pendiri dari ABCD Institute di Northwestern University. ABCD dibangun dari kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki oleh anggota komunitas, kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari lembaga lokal untuk menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan (Kretzman, 2010).  

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) muncul sebagai kritik terhadap pendekatan konvensional atau tradisional yang menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan yang ada pada suatu komunitas. Pendekatan tradisional tersebut menempatkan komunitas sebagai penerima bantuan, dengan demikian dapat menyebabkan anggota komunitas menjadi tidak berdaya, pasif, dan selalu merasa bergantung dengan pihak lain.

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) menekankan pada nilai, prinsip dan cara berpikir mengenai dunia. Pendekatan ini memberikan nilai lebih pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki oleh komunitas. Dengan demikian pendekatan ini melihat komunitas sebagai pencipta dari kesehatan dan kesejahteraan, bukan sebagai sekedar penerima bantuan. Pendekatan PKBA menekankan dan mendorong komunitas untuk dapat memberdayakan aset yang dimilikinya serta membangun keterkaitan dari aset-aset tersebut agar menjadi lebih berdaya guna. Kedua peran yang penting ini menurut Kretzman (2010) adalah jalan untuk menciptakan warga yang produktif.

 Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset  menekankan kepada kemandirian dari suatu komunitas untuk dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapinya dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada di dalam diri mereka sendiri, dengan demikian hasil yang diharapkan akan lebih berkelanjutan.

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset  berfokus pada potensi aset/sumber daya yang dimiliki oleh sebuah komunitas.  Selama ini komunitas sibuk pada strategi mencari pemecahan pada masalah yang sedang dihadapi. Pendekatan PKBA merupakan pendekatan yang digerakkan oleh seluruh pihak yang ada di dalam sebuah komunitas atau disebut sebagai community-driven development. Di dalam buku ‘Participant Manual of Mobilizing Assets for Community-driven Development’ (Cunningham, 2012) menuliskan perbedaannya dengan pendekatan yang dibantu oleh pihak luar. Penjelasan yang ada sebetulnya ditujukan untuk pengembangan masyarakat, namun tetap bisa kita implementasikan pada lingkungan sekolah karena sebetulnya adalah miniatur sebuah tatanan masyarakat di suatu daerah. Perubahan masyarakat yang signifikan karena warga lokal dalam masyarakat tersebut yang mengupayakan perubahan. Warga masyarakat akan bertanggung jawab pada yang sudah mereka mulai.  Dengan demikian setiap warga sekolah akan bertanggung jawab atas apa yang sudah dimulai.

Membangun dan membina hubungan merupakan inti dari membangun masyarakat inklusif yang sehat.  Membangun dan membina hubungan antar warga sekolah, seperti hubungan guru-guru, guru – kepala sekolah, guru – murid – guru, guru – staf sekolah – guru, staf sekolah – murid – staf sekolah, ataupun kepala sekolah – murid – kepala sekolah menjadi sangat penting untuk membangun sekolah yang sehat dan inklusif. Sekolah harus dibangun dengan melihat pada kekuatan, potensi, dan tantangan, kita harus bisa fokus pada pembangunan sumber daya yang tersedia, kapasitas yang kita miliki, serta kekuatan dan aspirasi yang sudah ada.

Kekuatan sekolah berbanding lurus dengan tingkat keberagaman keinginan unsur sekolah yang ada, dan pada tingkat kemampuan mereka untuk menyumbangkan kemampuan yang ada pada mereka dan aset yang ada untuk sekolah yang lebih baik. Dalam setiap unsur sekolah, pasti ada sesuatu yang berhasil. Dari pada menanyakan “ada masalah apa?” dan “bagaimana memperbaikinya?”, lebih baik bertanya “apa yang telah berhasil dilakukan?” dan “bagaimana mengupayakan lebih banyak hasil lagi?” Cara bertanya ini mendorong energi dan kreativitas. Titik awal perubahan selalu pada perubahan pola pikir (mindset) dan sikap yang positif.

Dalam mengatasi tantangan pada pendekatan tradisional yang digunakan untuk mengatasi permasalahan perkotaan, di mana penyedia jasa dan lembaga donor lebih menekankan pada kebutuhan dan kekurangan yang terdapat pada komunitas, Kretzmann dan McKnight menunjukkan bahwa aset yang dimiliki oleh komunitas adalah kunci dari usaha perbaikan kehidupan pada komunitas perkotaan dan pedesaan.

Menurut Green dan Haines (2002) dalam Asset building and community development, ada 7 aset utama atau di dalam buku ini disebut sebagai modal utama, yaitu:

1) Modal Manusia :

Sumber daya manusia yang berkualitas, investasi pada sumber daya manusia menjadi sangat penting yang berhubungan dengan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan harga diri seseorang. Pemetaan modal atau aset individu merupakan kegiatan menginventaris pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan yang dimiliki setiap warganya dalam sebuah komunitas, atau dengan kata lain, inventarisasi perorangan dapat dikelompokkan berdasarkan sesuatu yang berhubungan dengan hati, tangan, dan kepala.

Pendekatan lain mengelompokkan aset atau modal ini dengan melihat kecakapan seseorang yang berhubungan dengan kemasyarakatan, contohnya kecakapan memimpin sekelompok orang, dan kecakapan seseorang berkomunikasi dengan berbagai kelompok.  Kecakapan yang berhubungan dengan kewirausahaan, contohnya kecakapan dalam mengelola usaha, pemasaran, yang negosiasi.  Kecakapan yang berhubungan dengan seni dan budaya, contohnya kerajinan tangan, menari, bermain teater, dan bermain musik.

2) Modal Sosial

Norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang ada di dalamnya dan mengatur pola perilaku warga, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaringan (networking) antara unsur yang ada di dalam komunitas/masyarakat.

Investasi yang berdampak pada bagaimana manusia, kelompok, dan organisasi dalam komunitas berdampingan, contohnya kepemimpinan, bekerjasama, saling percaya, dan punya rasa memiliki masa depan yang sama. Contoh-contoh yang termasuk dalam modal sosial antara lain adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu kelompok yang ada di dalam komunitas masyarakat yang terdiri atas  dua orang atau lebih yang bekerja bersama dengan suatu tujuan yang sama dan saling berbagi untuk suatu tujuan yang sama. Asosiasi terdiri atas kegiatan yang bersifat formal maupun nonformal. Beberapa contoh tipe asosiasi adalah berdasarkan keyakinan, kesamaan profesi, kesamaan hobi, dan sebagainya. Terdapat beberapa macam bentuk modal sosial, yaitu fisik (lembaga), misalnya asosiasi dan institusi. Institusi adalah suatu lembaga yang mempunyai struktur organisasi yang jelas dan biasanya sebagai salah satu faktor utama dalam proses pengembangan komunitas masyarakat.

3)  Modal Fisik

Terdiri atas dua kelompok utama, yaitu: Bangunan yang bisa digunakan untuk kelas atau lokasi melakukan proses pembelajaran, laboratorium, pertemuan, ataupun pelatihan. Infrastruktur atau sarana prasarana, mulai dari saluran pembuangan, sistem air, mesin, jalan, jalur komunikasi, sarana pendukung pembelajaran, alat transportasi, dan lain-lain.

4)  Modal Lingkungan/alam

Bisa berupa potensi yang belum diolah dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dalam upaya pelestarian alam dan juga kenyamanan hidup.  Modal lingkungan terdiri dari bumi, udara yang bersih, laut, taman, danau, sungai, tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Tanah untuk berkebun, danau atau empang untuk berternak, semua hasil dari pohon seperti kayu, buah, bambu, atau material bangunan yang bisa digunakan kembali untuk menenun, dan sebagainya.

5)  Modal Finansial

Dukungan keuangan yang dimiliki oleh sebuah komunitas yang dapat digunakan untuk membiayai proses pembangunan dan kegiatan sebuah komunitas. Modal finansial termasuk tabungan, hutan, investasi, pengurangan dan pendapatan pajak, hibah, gaji, serta sumber pendapatan internal dan eksternal. Modal finansial juga termasuk pengetahuan tentang bagaimana menanam dan menjual sayur di pasar, bagaimana menghasilkan uang dan membuat produk-produk yang bisa dijual, bagaimana menjalankan usaha kecil, bagaimana memperbaiki cara penjualan menjadi lebih baik, dan juga bagaimana melakukan pembukuan.

6)  Modal Politik

Modal politik adalah ukuran keterlibatan sosial. Semua lapisan atau kelompok memiliki peluang atau kesempatan yang sama dalam kepemimpinan, serta memiliki suara dalam masalah umum yang terjadi dalam komunitas. Lembaga pemerintah atau perwakilannya yang memiliki hubungan dengan komunitas, seperti komunitas sekolah, komite pelayan kesehatan, pelayanan listrik atau air.

7)  Modal Agama dan budaya

Upaya pemberian bantuan empati dan perhatian, kasih sayang, dan unsur dari kebijakan praktis (dorongan utama pada kegiatan pelayanan). Termasuk juga kepercayaan, nilai, sejarah, makanan, warisan budaya, seni, dan lain-lain. Kebudayaan yang unik di setiap daerah masing-masing merupakan serangkaian ide, gagasan, norma, perlakuan, serta benda yang merupakan hasil karya manusia yang hidup berkembang dalam sebuah ruang geografis. Agama merupakan suatu sistem berperilaku yang mendasar, dan berfungsi untuk mengintegrasikan perilaku individu di dalam sebuah komunitas, baik perilaku lahiriah maupun simbolik.  Agama menuntut terbentuknya moral sosial yang bukan hanya kepercayaan, tetapi juga perilaku atau amalan. Identifikasi dan pemetaan modal budaya agama merupakan langkah yang sangat penting untuk melihat keberadaan kegiatan dan ritual kebudayaan dan keagamaan dalam suatu komunitas, termasuk kelembagaan dan tokoh-tokoh penting yang berperan langsung atau tidak langsung di dalamnya. Sangat penting kita mengetahui sejauh mana keberadaan ritual keagamaan dan kebudayaan yang ada di masyarakat serta pola relasi yang tercipta di antaranya dan selanjutnya bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk menunjang pengembangan perencanaan dan kegiatan bersama.

Akhirnya yang menjadi harapan kita bersama sebagai Guru Penggerak adalah bahwa melalui pendekatan Pengembangan Sekolah Berbasis Aset  yang menekankan kepada kemandirian dari sekolah untuk dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapinya dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada di dalam sekolah itu sendiri dapat mempercepat transformasi pendidikan serta memperoleh hasil yang diharapkan yaitu para guru merdeka, peserta didik yang merdeka dan memiliki Profil Pelajar Pancasila , warga sekolah yang merdeka dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.  

 

TERIMA KASIH


Tidak ada komentar:

Posting Komentar