Rabu, 24 Maret 2021

Pembelajaran yang Berpihak Pada Murid

 


Dikutip dari Liputan 6.com, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan, cita-cita dalam pendidikan anak sebenarnya adalah demi memerdekakan pemikiran serta membuka potensi mereka. "Cita-cita kita hanya satu, pembelajaran yang berpihak kepada murid, pembelajaran yang memerdekakan pemikiran, dan potensi murid tersebut," sebut Nadiem dalam acara Pembukaan Pendidikan Guru Penggerak oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kamis (15/10/2020). Para Guru Penggerak diminta untuk terus mencari cara terbaik untuk mengimplementasikannya di dalam kelas dengan terus melakukan ekperimen pembelajaran yang ideal di kelas masing-masing.

Pembelajaran yang berpihak pada murid adalah sebuah proses kolaborasi antara Guru dan murid yang memberikan ruang bagi murid untuk merdeka mengemukakan pendapat dan mengekspresikan ilmu -ilmu baru yang didapatnya. Pembelajaran Berdiferensiasi yang diintegrasikan dengan Pembelajaran Sosial-Emosional merupakan model pembelajaran yang mampu memenuhi kebutuhan murid secara individu maupun klasikal. Disamping itu Praktek Coaching Model TIRTA Sangat efektif dilaksanakan bagi Guru maupun murid untuk meningkatkan kualitas (performa) mengajar dan belajar dalam proses pembelajaran di kelas maupun sekolah.

Carol Ann Tomlinson mengatakan bahwa pembelajaran diferensiasi berarti memberi siswa banyak pilihan untuk menerima informasi (1999). Pengajaran yang berdiferensiasi berarti  mengamati dan memahami perbedaan dan persamaan di antara siswa dan menggunakan informasi ini untuk merencanakan pengajaran .  Untuk lebih memahami konsep pembelajaran berdiferensiasi, Tomlinson (2000) menyatakan ada  4 karakteristik utama pembelajaran berdiferensiasi yang efektif, yaitu:

1. Pembelajaran merupakan konsep dan prinsip memberikan dorongan.

2. Penilaian berkelanjutan terhadap kesiapan dan perkembangan belajar siswa dipadukan ke dalam kurikulum.

3. Digunakan pengelompokan secara fleksibel dan konsisten.

4. Siswa secara aktif bereksplorasi di bawah bimbingan dan arahan guru.

Berdasarkan karakteristik pembelajaran berdiferensiasi diatas, maka pembelajaran literasi hendaknya dilaksanakan berdasarkan kondisi awal siswa, bukan berdasarkan apa yang harus dicapai siswa. Pembelajaran Berdiferensiasi dapat diterapkan di dalam kelas dengan menggunakan 3 Strategi yaitu :

1. Diferensiasi Konten : merujuk pada strategi membedakan pengorganisasian dan format penyampaian konten. Konten adalah materi pengetahuan, konsep dan ketrampilan yang dipelajari murid berdasarkan kurikulum. Contoh : Pemadatan materi, studi intra disipliner, kajian mendalam.

2. Diferensiasi Proses : merujuk pada strategi membedakan proses yang harus dijalani oleh murid yang dapat memungkinkan mereka untuk berlatih dan memahami isi/konten materi. Contoh : mengembangkan kecakapan berpikir, hubungan dalam dan lintas disiplin, studi mandiri. Cara mendiferensiasi proses dapat dilaksanakan dengan melakukan kegiatan berjenjang, menggunakan pertanyaan pemandu/tantangan di sudut-sudut minat, guru membuat agenda individual murid yang berisi daftar kerja umum dan daftar kerja individual, memvariasikan lama waktu bagi murid untuk menyelesaikan tugas, mengembangkan kegiatan bervariasi yang mengakomodasi gaya belajar murid , menggunakan pembagian kelompok yang fleksibel sesuai kesiapan, kemampuan dan minat murid serta melakukan teknik scaffolding bagi murid yang lambat dalam belajar.

3. Diferensiasi Produk : merujuk pada strategi memodifikasi produk hasil belajar murid, hasil latihan, penerapan dan pengembangan apa yang telah dipelajari. Contoh : Hasil kerja murid dibuat bervariasi (tulisan/karangan, hasil test, pertunjukan, presentasi, Pidato, rekaman audio, video, Diagram, Infografis, peta konsep,dll) sesuai bakat dan minatnya. Cara mendiferensiasi produk dapat dilaksanakan dengan memberikan tantangan/keragaman/variasi, memberikan murid pilihan bagaimana mereka dapat mengekspresikan pembelajaran yang diinginkan.

Diferensiasi tidak berarti bahwa guru harus dapat memenuhi kebutuhan semua individu setiap saat atau setiap waktu, namun guru memang diharapkan dapat menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pembelajaran sosial emosional merupakan proses mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk memperoleh kompetensi sosial dan emosional sebagai modal murid dalam berinteraksi dengan dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar. Pembelajaran  sosial emosional ini dapat dijadikan sebagai awal dan dasar penanaman pendidikan karakter kepada murid. Ada empat kompetensi kunci pengembangan dalam aspek sosial emosional yaitu self-awareness (kesadaran diri), self-management (pengelolaan diri-pengenalan emosi), social awareness (kesadaran sosial -ketrampilan berempati) , responsible decision making (tanggung jawab dalam pengambilan keputusan), dan relationship management (Ketrampilan berhubungan sosial-resiliensi) . Keempat kompetensi ini penting dikembangkan sejak usia dini untuk membangun dan menanamkan keterampilan sosial mereka .

Menurut Hawkins (2017), latihan berkesadaran penuh (mindfulness) dapat membangun keterhubungan diri sendiri (self-awareness) dengan berbagai kompetensi emosi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, sebelum memberikan respon dalam sebuah situasi sosial yang menantang, kita berhenti, bernafas dengan sadar, mengamati pikiran, perasaan diri sendiri maupun orang lain, dan mengambil tindakan yang lebih responsif, buka reaktif.  Gambar 1 menunjukkan  Pembelajaran Sosial-Emosional berbasis kesadaran penuh  untuk mewujudkan kesejahteraan (well-being).  Gambar tersebut diadaptasi dari  Gambar yang dibuat K. Fort – Catanese (dalam Hawkins, 2017)

                Gambar 1. Pembelajaran Sosial dan Emosional berbasis kesadaran Penuh

Pada konteks pembelajaran yang berpihak pada murid, coaching menjadi salah satu proses ‘menuntun’ kemerdekaan belajar murid dalam pembelajaran di sekolah. Coaching menjadi proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya program merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Program ini dapat membuat murid menjadi lebih merdeka dalam belajar untuk mengeksplorasi diri guna mencapai tujuan pembelajaran dan memaksimalkan potensinya. Harapannya, proses coaching dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi guru untuk membantu murid untuk memaksimalkan potensinya. Coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif yang diberikan Coach dapat membuat murid melakukan metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Sehingga akhirnya, murid dapat menemukan potensi dan mengembangkannya. Mengingat pentingnya proses coaching ini sebagai alat untuk memaksimalkan potensi murid, guru hendaknya memiliki keterampilan coaching. International Coach Federation (ICF) memberikan acuan mengenai 4 kelompok kompetensi dasar bagi seorang coach yaitu:

1. keterampilan membangun dasar proses coaching

2. keterampilan membangun hubungan baik

3. keterampilan berkomunikasi

4. keterampilan memfasilitasi pembelajaran

Seringkali dalam prakteknya, kegiatan coaching sangat sulit dibedakan dengan konseling dan mentoring. Untuk lebih mudah memahami perbedaan antara coaching, mentoring dan konseling, mari kita pelajari pengertian mentoring dan konseling berikut ini:

1. Definisi mentoring

Stone (2002), mendefinisikan mentoring sebagai suatu proses dimana seorang teman, guru, pelindung, atau pembimbing yang bijak dan penolong menggunakan pengalamannya untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah bahaya. Sedangkan Zachary (2002) menjelaskan bahwa mentoring memindahkan pengetahuan tentang banyak hal, memfasilitasi perkembangan, mendorong pilihan yang bijak dan membantu mentee untuk membuat perubahan.

2. Definisi konseling

Gibson dan Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara itu, Rogers (1942) dalam Hendrarno, dkk (2003:24), menyatakan bahwa konseling merupakan rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.

Jika kita mencermati definisi-definisi mengenai mentoring dan konseling, kemudian membandingkannya dengan coaching, maka Anda dapat melihat perbedaan-perbedaan di antara ketiga metode pengembangan diri tersebut. Untuk lebih mudahnya, mari kita lihat tabel perbedaan antara coaching, mentoring, dan konseling berikut ini:


Mengingat pentingnya proses coaching ini sebagai alat untuk memaksimalkan potensi murid, guru hendaknya memiliki keterampilan coaching.  Keterampilan coaching ini sangat erat kaitannya dengan keterampilan berkomunikasi. Makna komunikasi menjadi lebih luas dan dalam ketika ada keinginan dari dalam diri manusia yang mendorong komunikasi mereka untuk menjadi lebih berdampak bagi kehidupan baik sang pemberi pesan ataupun penerima pesan, yakni komunikasi yang memberdayakan potensi setiap pihak sehingga dapat menghasilkan perubahan arti kehidupan. Komunikasi yang sedemikian dapat membentuk relasi, menciptakan kenyamanan, dan menghasilkan kreativitas serta kemerdekaan. Ada 4 unsur utama yang mendasari prinsip komunikasi yang memberdayakan, yaitu :

1. Hubungan saling mempercayai

Rasa aman dan nyaman akan hadir dalam sebuah hubungan jika ada rasa saling memperhatikan baik keadaan pribadi atau kesejahteraan profesionalnya. Bagi murid, bahwa kita peduli pada kualitas belajarnya akan membuat murid berasumsi bahwa komunikasi kita bertujuan untuk perbaikan mutu. Kepercayaan merupakan jalan dua arah.

2. Menggunakan data yang benar

Dalam setiap komunikasi diperlukan data yang benar dan dinamika yang sesuai. Tanpa gambaran akurat tentang pesan atau masalah yang sedang dibahas, maka kesan subjektivitas akan hadir dalam proses komunikasi.

3. Bertujuan menuntun para pihak untuk optimalisasi potensi

Komunikasi memberdayakan seyogyanya menuntun rekan bicara kita untuk mampu berefleksi atas diri mereka dan mengenali pesan atau isu yang dibahas dengan benar. Rasa kepemilikan dan tanggung jawab atas pesan dari proses komunikasi yang ada akan membuat dampak pada jangka yang lebih panjang.

4. Rencana tindak lanjut atau aksi

Jika diperlukan, buatlah rancangan konkrit sebagai hasil dari proses komunikasi. Hal ini sebagai bentuk komitmen dari sebuah komunikasi yang bertujuan positif dan efektif.

Ada 4 aspek berkomunikasi yang perlu dipahami dan dilatih untuk mendukung praktik Coaching kita yaitu :

1. Komunikasi asertif

Ketika berkomunikasi dengan orang lain, tidak selalu apa yang kita harapkan akan berjalan dengan lancar. Ada saja hambatan yang datang dan seringkali hasil komunikasi tersebut tidak dapat memuaskan semua orang. Hal ini dapat terjadi karena sikap berkomunikasi yang berbeda satu sama lain, dan tidak semua orang dapat secara mudah mengungkapkan apa yang ada di benaknya dengan tepat. Kita perlu memahami tipe umum manusia berkomunikasi agar kita dapat memberikan respon yang tepat. Berkomunikasi secara asertif akan membangun kualitas hubungan kita dengan orang lain menjadi lebih positif karena ada pencapaian bersama dan kesepakatan dalam pemahaman dari kedua belah pihak. Kualitas hubungan yang diharapkan dibangun atas rasa hormat pada pemikiran dan perasaan orang lain. Dalam usaha membangun keselarasan berkomunikasi, coach juga perlu belajar menyamakan posisi diri pada saat coaching berlangsung. Beberapa tips singkat yang dapat seorang coach lakukan yaitu menyamakan kata kunci, menyamakan bahasa tubuh dan menyelaraskan emosi

2. Pendengar aktif

Salah satu keterampilan utama dalam coaching adalah keterampilan mendengar. Seorang coach yang baik akan mendengar lebih banyak dan kurang berbicara. Dalam sesi coaching kita perlu fokus bahwa pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni murid kita. Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada dipikirannya termasuk penilaian terhadap coachee.

3. Bertanya efektif

‘Bertanya’ pada coaching merupakan kemampuan bertanya dengan tujuan tertentu. Bukan sekedar jawaban singkat yang diharapkan, namun pertanyaan yang diberikan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan potensi diri.

4. Umpan balik positif

Umpan balik dalam coaching bertujuan untuk membangun potensi yang ada pada coachee dan menginspirasi mereka untuk berkarya. Coachee memaknai umpan balik yang disampaikan sebagai refleksi dan pengembangan diri. Secara khusus diberikan pada coachee ketika dalam process coaching, ada hal-hal yang tidak terduga muncul atau hasil dari coaching ini berbeda dari yang coachee pikirkan. Dorongan positif diperlukan agar coachee meneruskan hasil coaching ini sampai pada tahap aksi.

Model TIRTA merupakan model coaching yang dikembangkan dengan semangat merdeka belajar. Model TIRTA menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching. Hal ini penting mengingat tujuan coaching, yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. TIRTA adalah satu model coaching yang diperkenalkan dalam Program Pendidikan Guru Penggerak saat ini. TIRTA dikembangkan dari Model GROW . GROW adalah akronim dari Goal, Reality, Options dan Will

Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 

Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 

Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. 

Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.

 

TIRTA akronim dari :
T   : Tujuan
I    : Identifikasi
R   : Rencana aksi
TA: Tanggung jawab

 

TIRTA dapat dirinci sebagai berikut:

1. Tujuan Umum 

Biasanya ini ada dalam pikiran coach dan beberapa dapat ditanyakan kepada coachee. Dalam tujuan umum, beberapa hal yang dapat coach rancang (dalam pikiran coach) dan yang dapat ditanyakan kepada coachee adalah:

Ø Apa rencana pertemuan ini?

Ø Apa tujuannya? 

Ø Apa tujuan dari pertemuan ini?

Ø Apa definisi tujuan akhir yang diketahui?

Ø Apakah ukuran keberhasilan pertemuan ini?

Seorang coach menanyakan kepada coachee tentang sebenarnya tujuan yang ingin diraih coachee.

2. Identifikasi
Beberapa hal yang dapat ditanyakan dalam tahap identifikasi ini adalah:

Ø Kesempatan apa yang kamu miliki sekarang? 

Ø Dari skala 1 hingga 10, dimana kamu sekarang dalam pencapaian tujuan kamu? 

Ø Apa kekuatan kamu dalam mencapai tujuan?

Ø Peluang/kemungkinan apa yang bisa kamu ambil?

Ø Apa hambatan atau gangguan yang dapat menghalangi kamu dalam meraih tujuan?Apa solusinya?

3. Rencana Aksi

Ø Apa rencana kamu dalam mencapai tujuan?

Ø Adakah prioritas?

Ø Apa strategi untuk itu?

Ø Bagaimana jangka waktunya?

Ø Apa ukuran keberhasilan rencana aksi kamu?

Ø Bagaimana cara kamu mengantisipasi gangguan?

4. Tanggung Jawab

Ø Apa komitmen kamu terhadap rencana aksi?

Ø Siapa dan apa yang dapat membantu kamu dalam menjaga komitmen?

Ø Bagaimana dengan tindak lanjut dari sesi coaching ini?

Melalui model TIRTA, guru diharapkan dapat melakukan praktik coaching di komunitas sekolah dengan mudah dalam rangka mendukung pembelajaran yang berpihak pada murid agar mencapai well-being (kesejahteraan).

TERIMA KASIH



Kesimpulan & Refleksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara

 

         Arus globalisasi di abad 21 ini telah menimbulkan dampak diberbagai sektor termasuk Pendidikan. Di masa kini semua aspek selalu merujuk pada kepentingan pasar global sehingga pendidikan tidak hanya dipandang sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan proses memerdekakan manusia tetapi telah bergeser nilainya menuju pendidikan sebagai komoditas pasar global. Adanya pengaruh besar pendidikan sebagai komoditas pasar ini perlu dicegah dengan kembali melihat konsep-konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai jalan keluarnya. Ki Dewantara membedakan kata “pendidikan” dan “pengajaran” dalam memahami arti dan tujuan pendidikan. “Pengajaran”, adalah bagian dari “Pendidikan”, yaitu proses pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan “Pendidikan” , berarti memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi Menurut Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan” dan “Pengajaran” merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk kepentingan hidup manusia baik dalam hidup bermasyarakat maupun sebagai anggota masyarakat. Ki Hajar Dewantara memandang bahwa arus masuknya nilai-nilai budaya barat harus diambil secara selektif dengan tetap berpegang kebudayaan asli Indonesia. Karena itu menurut beliau, pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat agar tercapat Profil Pelajar Pancasila (Beriman & Berakhlak mulia, mandiri, kreatif, bernalar kritis, gotong royong dan berkebinekaan global).  

       Ki hajar Dewantara memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab, maka Pendidikan adalah kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan , kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan dan kebangsaan yang tertuang dalam “Panca Dharma” Pendidikan. Disini Ki Hajar Dewantara menawarkan alternatif konsep pendidikan yang digali dari kearifan budaya bangsa sendiri. Ada 3 kontribusi filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia, yaitu Trilogi Kepemimpinan ( Ing ngarso sung tulada (di depan memberi teladan),Ing madya mangun karso (di tengah membangkitkan semangat berkreasi) dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan)), Tri Sentra pendidikan (Alam keluarga, Alam perguruan dan Alam Kepemudaan/kemasyarakatan) dan Sistem “Among” yang melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdeka dan kreativitas mereka. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mampu memperbaiki “lakunya”. dapam proses menuntun, anak didik diberi kebebasan, namun pendidik sebagai Pamong harus memberikan tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Ki Hajar Dewantara juga mengingatkan para guru untuk tetap terbuka , namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

      Ki Hajar Dewantara juga mengelaborasi pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut : “Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa kepentingan anak didik , baik mengenai hidup diri pribadinya, maupun hidup kemasyarakatannya agar jangan sampat meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengankodrat alam mauppun kodrat zaman. Bila dilihat dari kodrat zaman, pendidikan global menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki ketrampilan abad 21. Budi Pekerti menjadi pelengkap penting yang harus menyertai setiap anak sebagai perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak, perpaduan antara cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan karya (psikomotor).keluarga menjadi tempat utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak.

      Relevansi pemikiran Ki Hajar Dewantara, terhadap transformasi pendidikan di zaman ini dalam bentuk 3 kerangka perubahan yaitu : Kodrat keadaan  (Kodrat alam dan kodrat zaman), Asas Trikon ( Kontinuitas yaitu melakukan dialog kritis dengan sejarah-jangan lupa akar budaya bangsa, Konvergensi yaitu pendidikan harus memanusiakan manusia dan memperkuat nilai kemanusiaan dan Konsentris yaitu pendidikan harus menghargai keberagaman dan memerdekakan pembelajar karena setiap orang berpikir dan beredar sesuai orbitnya) dan apa yang berubah diiringi dengan kebijaksanaan /Budi Pekerti.